9/13/2010

One Thing Led to Another

Rasanya ingin menulis sesuatu, tapi nggak tahu mau nulis apa. Jadi, dimulai aja dengan cuaca sekarang. Di luar terus hujan seperti hari-hari kemarin. Belum reda-reda juga setelah beberapa jam, paling nggak dari pagi sampai siang dapat sinar matahari untuk mengeringkan jemuran baju. Still in the middle of my Lebaran holliday, sebetulnya sekarang udah masuk ke cuti pribadi, karena kantor udah mulai masuk. 

On the productive side, di liburan kali ini gw lumayan lebih ringan tangan dalam membantu beres-beres rumah. Tapi, kalau productive secara kerjaan, I only managed to edit some articles, and sent it to my graphic designer. Lagi pula, liburan 'kan bukan untuk dipakai menyelesaikan kerjaan kantor yang hanya membayar kerjaan di waktu kerja yang mereka tentukan. So, I can not let myself feel dissapointed if I could only deliver trivial office work. Justru kantor beruntung gw masih sudi ngerjain kerjaan mereka di waktu pribadi gw, mereka dapat jasa gratis, cih!

Di bulan ini, seperti juga di saat-saat sebelumnya, gw kembali disadarkan kalau kantor nggak sayang sama kita, mereka hanya menghargai kerjaan kita yang menguntungkan mereka, so better I do the same, daripada makan hati. Yah, kalau membahas itu lebih lanjut, cuma akan menimbulkan hawa negatif. Jadi, kita tinggalkan saja topik yang nggak berujung itu, soalnya sama aja dengan menentukan mana yang muncul duluan, ayam atau telur.

Btw, pernah merasa sebagai orang yang paling menderita, sampai-sampai susah menerima kalau orang lain merasa lebih menderita daripada kita? Pernah merasa gara-gara situasi orang lain lebih baik, lantas mereka nggak seharusnya merasa menderita? Seolah semua penderitaan belum seberapa kalau dibandingkan dengan penderitaan kita? Tapi, setiap orang 'kan punya situasi dan kondisi yang berbeda, yang menghasilkan emosi dan rasa yang berbeda2 pula, dan kita ini nggak tahu segalanya. Kalau dipikir-pikir, kita selalu merasa yang paling menderita dalam pikiran kita sendiri. Mungkin karena kita sendirilah yang paling mengerti hidup kita, paling tahu apa yang ada di dalam hati dan otak kita, dibandingkan dengan pengetahuan kita tentang orang lain.

Hanya kita yang paling tahu apa yang kita rahasiakan dari dunia, dan apa yang kita rasakan di dunia ini. Kalau setelah sampai di titik itu, alangkah baiknya kalau kita bisa membalikkan cara pemikiran kita. Kalau kita tahu it's all in our head, mungkin di titik itu kita bisa mulai melihat a bigger picture, outside our shell. In my own case, di saat gw merasa udah nggak kuat menahan penderitaan diri, biasanya di saat itu pulalah gw akan sangat merasa seakan gw ini paling menderita sedunia.

Untuk melawan pemikiran kalau kita yang paling menderita di dunia (yang bisa berujung ke depresi dan self insecurity), ada baiknya kalau kita menanamkan pemikiran bahwa selalu ada yang lebih menderita daripada kita di dunia ini, dan memang bener, 'kan? Kalau selalu ada yang lebih menderita daripada diri kita, berarti kita punya banyak hal yang lebih daripada orang lain. Kita tinggal menganilasi apa yang kita miliki, satu per satu, dari hal paling sepele, sampai yang paling signifikan. Dan, yang paling penting, kalau kita merasa memiliki banyak hal yang membuat kita lebih beruntung daripada orang lain, di titik itu pulalah tiba waktunya untuk bersyukur ^_^. We're all lucky in our own right.

Tapi, yang nggak kalah pentingnya, walaupun kita ini beruntung dengan apa yang kita miliki, seperti halnya selalu ada yang lebih menderita daripada kita, di dunia ini pun selalu ada yang lebih baik daripada kita. Sehingga muncullah saat untuk menjadi humble, alias nggak besar kepala. Soalnya sebagus dan sejelek apa pun seseorang, pasti dia memiliki suatu kelebihan yang nggak kita punya, memiliki sesuatu yang bisa kita pelajari...


2 comments:

  1. Thanks for visiting and leaving such a nice comment on my blog!

    ReplyDelete
  2. You're very welcome ^_^, thanks also for visiting my blog

    ReplyDelete